.......
Malam itu, aku ditemani
Bi’ Minah, tetapi mata ini tetap terjaga hingga subuh. Bi’ Minah mengajakku
salat Subuh berjamaah. Hingga akhir salam aku tidak beranjak dari dudukku. Aku
masih tetap bersimpuh dengan pandangan kosong. Apa yang sebenarnya Engkau
rencanakan Tuhan? Kau ambil Bunda ketika umurku lima tahun. Walau begitu aku
tidak pernah lupa wajahnya yang selalu tersenyum menungguiku di play group. Apa
rencanaMu Tuhan, setelah Bunda, Kau bawa pergi Kak Radit. Hingga sekarang aku
tak tahu dia dimana? Apakah dia sehat di sana? Apakah dia bahagia di sana?
Andai keegoisan Ayah yang memaksanya masuk Fakultas Ekonomi melunak saat itu,
mungkin aku tidak melalui ini sendiri. Sekarang ketika satu-satunya orang yang
berada di dekatku –walau aku tahu aku tak mungkin bisa menggantikan Kak Radit
di mata beliau- harus pergi dengan cara seperti ini. Apa rencanaMu Tuhan,
membiarkanku sendiri di dunia ini.
Hampir lima hari aku terus berdiam diri. Bolos kuliah,
mematikan handphone, menonton DVD-DVD lama. Aku putus asa. Sempat aku ingin
bunuh diri, tapi aku sadar itu hanya akan membawaku ke tempat yang lebih buruk.
Tuhan tidak akan menerimaku, kalau aku mati bunuh diri. Hingga telepon rumah
bordering siang itu, menyadarkanku dari sedikit lamunanku..
Bi’ Minah mengangkatnya. Lalu memanggilku. Aku melongok
dari atas. “Dari Papa non” ujarnya
Sedikit berlari aku menuruni tangga, meraih gagang
telepon itu, mendengar suara papa yang serak di seberang. Rindu.
“Ai, Bagaimana kabarmu?” Tanya Papa, sedikit putus-putus.
“Ai baik pa, Papa gimana? Sehat kan Pa? Ai kangen Pa.” Air
mataku mengalir. Senang bisa mendengar suara Papa lagi sekaligus sedih karena
kejadiaan ini
“Papa di sini baik-baik.” Papa diam sejenak, seperti
menahan tangis. “Ai, maafkan papa ya. Papa tahu, kamu pasti benci dengan Papa...”
“Enggak Pa.” kupotong kalimat Papa. “Ai selalu sayang
papa apapun kondisi papa. Papa jangan berpikir begitu ya. Ai bakal cari cara
buat bebasin papa. Ai percaya papa enggak salah jadi papa tenang saja ya.” Aku
mencoba menenangkan Papa walau aku sendiri belum tahu bagaimana cara
membebaskannya.
“Ai, dengarkan Papa, Pukul lima nanti budhe Anti mau datang,
Dia akan jemput kamu. Kamu ikut Budhemu ke Jogja, kuliah dan keperluanmu akan
ditanggung sama Budhe sementara, hingga kasus ini selesai. Kamu paham?”
“Tapi Pa, Ai enggak mau ninggalin Papa sendirian. Ai
enggak papa kok tinggal sendiri di Jakarta, Ai bisa kerja part time, kuliah
juga bisa ambil beasiswa.” Aku kekeuh tetap ingin tinggal di sini. Aku tidak
ingin jauh dari Papa. Tidak ingin meninggalkannya sendiri
“Ai, rumah kita akan disita besok.”
Degg. Seperti jantung yang berhenti berdenyut sejenak. Rumah
yang membawa banyak kenangan ini tidak akan bisa lagi aku datangi.
“Ai, waktu papa habis. Sekarang kemasi barang-barangmu.
Besok pagi kamu harus segera meninggalkan Jakarta. Berjanjilah pada Papa, kamu
harus bahagia. Kamu harus raih cita-citamu. Maafkan Papa, selama ini
mengacuhkanmu. Papa sayang padamu.”
“Tut…tut…tut…”
..The Old train which bring memory (2) selesai...
Apa yang akan terjadi pada Ayka selanjutnya, tetap ikuti kisah ini ya,,, ;)