Flower in your heart

Flower in your heart

Sabtu, 29 Desember 2012

The Old train which bring memory (3)


...........
Aku benar-benar akan jauh dari Papa. Menuju kota yang belum pernah aku datangi kecuali melihatnya di peta. Berjalan dengan kakiku sendiri. Berjuang untuk hidupku. Dan di sinilah aku. Duduk di gerbong kereta api ekonomi dengan Budhe Anti yang sudah sepuluh tahun tak kutemui
            “Maaf ya Ayka, Budhe cuma bisa beli tiket ekonomi. Kamu tidak nyaman ya?” tanyanya merasa bersalah,
            Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
            Budhe Anti adalah kakak dari bunda. Beliau tinggal di Jogja bersama suaminya.. Mereka tidak dikaruniai anak. Saat hamil pertama, kandungan Budhe mengalami keguguran dan terpaksa dokter harus mengangkat rahimnya karena pendarahan yang terus-menerus. Wajar kalau Budhe  menganggapku seperti anak sendiri. Dulu ketika beliau masih tinggal di Jakarta, setiap minggu pasti datang berkunjung untuk bertemu denganku. Tetapi sejak suaminya Pakdhe Heri, bermasalah dengan Papa, Budhe tidak lagi datang. Mereka pindah ke Jogja dan menutup diri dari keluarga besar.
            Kereta terus membawaku menjauh, hingga gedung-gedung tinggi itu tidak terlihat lagi. Aku mengambil telepon genggamku dan menyalakannya. Sudah lima hari handphoneku tidak aktif. Ringtone SMS berdering setelah kuaktifkan handphoneku. Banyak pesan yang masuk terutama dari Sarah.

            3/1/12 10:07 pm
            from Sarah
            [Ai-chan, aku melihat televisi tadi pagi, apakah itu benar?]
           
            4/1/12 03:37 am
            from Sarah
            [Ai-chan handphonemu tidak aktif, kamu baik-baik saja kan?]
           
            5/1/12 04:51 am
            From Sarah
            [Ai-chan kalau handphonemu sudah aktif segera hubungi aku]
           
            6/1/12 09:11 pm
            From Sarah
            [Ai-chan, apapun keadaanmu sekarang, jangan lupa, kamu masih punya orang-orang
             yang sayang sama kamu. Semangat!]

            6/1/12 08:45 pm
            From Sarah
            [Aku di depan rumahmu, tapi kosong. Kamu dimana?]

            Sarah. Sahabatku dari kelas satu SD. Baik, cantik dan kaya. Mmembuatnya disukai banyak lelaki. Walau begitu, dia hanya menyukai Kak Radit. Bahkan dia menangis lebih keras daripada aku saat kak Radit pergi.
            Aku mengetik SMS balasan untuknya
       
            6/1/12 11:05 pm
            To Sarah
            [Aku ke Jogja, aku akan menghubungimu lagi setelah sampai sana. Jangan khawatir]

            Aku mematikan handphoneku, lalu melepas simcardnya dan membuangnya ke luar jendela. Aku lelah. Aku ingin melepas sementara, sesuatu yang berhubungan dengan kehidupanku di Jakarta. Maaf Sarah, bukannya aku ingin melupakanmu. Tapi saat ini, beri aku waktu untuk menata hatiku dan hidupku.

The Old train which bring memory (3) selesai...
 

Rabu, 28 November 2012

The Old train which bring memory (2)


.......
Malam itu, aku ditemani Bi’ Minah, tetapi mata ini tetap terjaga hingga subuh. Bi’ Minah mengajakku salat Subuh berjamaah. Hingga akhir salam aku tidak beranjak dari dudukku. Aku masih tetap bersimpuh dengan pandangan kosong. Apa yang sebenarnya Engkau rencanakan Tuhan? Kau ambil Bunda ketika umurku lima tahun. Walau begitu aku tidak pernah lupa wajahnya yang selalu tersenyum menungguiku di play group. Apa rencanaMu Tuhan, setelah Bunda, Kau bawa pergi Kak Radit. Hingga sekarang aku tak tahu dia dimana? Apakah dia sehat di sana? Apakah dia bahagia di sana? Andai keegoisan Ayah yang memaksanya masuk Fakultas Ekonomi melunak saat itu, mungkin aku tidak melalui ini sendiri. Sekarang ketika satu-satunya orang yang berada di dekatku –walau aku tahu aku tak mungkin bisa menggantikan Kak Radit di mata beliau- harus pergi dengan cara seperti ini. Apa rencanaMu Tuhan, membiarkanku sendiri di dunia ini.
            Hampir lima hari aku terus berdiam diri. Bolos kuliah, mematikan handphone, menonton DVD-DVD lama. Aku putus asa. Sempat aku ingin bunuh diri, tapi aku sadar itu hanya akan membawaku ke tempat yang lebih buruk. Tuhan tidak akan menerimaku, kalau aku mati bunuh diri. Hingga telepon rumah bordering siang itu, menyadarkanku dari sedikit lamunanku..
            Bi’ Minah mengangkatnya. Lalu memanggilku. Aku melongok dari atas. “Dari Papa non” ujarnya
            Sedikit berlari aku menuruni tangga, meraih gagang telepon itu, mendengar suara papa yang serak di seberang. Rindu.
            “Ai, Bagaimana kabarmu?” Tanya Papa, sedikit putus-putus.
            “Ai baik pa, Papa gimana? Sehat kan Pa? Ai kangen Pa.” Air mataku mengalir. Senang bisa mendengar suara Papa lagi sekaligus sedih karena kejadiaan ini
            “Papa di sini baik-baik.” Papa diam sejenak, seperti menahan tangis. “Ai, maafkan papa ya. Papa tahu, kamu pasti benci dengan Papa...”
            “Enggak Pa.” kupotong kalimat Papa. “Ai selalu sayang papa apapun kondisi papa. Papa jangan berpikir begitu ya. Ai bakal cari cara buat bebasin papa. Ai percaya papa enggak salah jadi papa tenang saja ya.” Aku mencoba menenangkan Papa walau aku sendiri belum tahu bagaimana cara membebaskannya.
            “Ai, dengarkan Papa, Pukul lima nanti budhe Anti mau datang, Dia akan jemput kamu. Kamu ikut Budhemu ke Jogja, kuliah dan keperluanmu akan ditanggung sama Budhe sementara, hingga kasus ini selesai. Kamu paham?”
            “Tapi Pa, Ai enggak mau ninggalin Papa sendirian. Ai enggak papa kok tinggal sendiri di Jakarta, Ai bisa kerja part time, kuliah juga bisa ambil beasiswa.” Aku kekeuh tetap ingin tinggal di sini. Aku tidak ingin jauh dari Papa. Tidak ingin meninggalkannya sendiri
            “Ai, rumah kita akan disita besok.”
            Degg. Seperti jantung yang berhenti berdenyut sejenak. Rumah yang membawa banyak kenangan ini tidak akan bisa lagi aku datangi.
            “Ai, waktu papa habis. Sekarang kemasi barang-barangmu. Besok pagi kamu harus segera meninggalkan Jakarta. Berjanjilah pada Papa, kamu harus bahagia. Kamu harus raih cita-citamu. Maafkan Papa, selama ini mengacuhkanmu. Papa sayang padamu.”
            “Tut…tut…tut…”
 ..The Old train which bring memory (2) selesai...
Apa yang akan terjadi pada Ayka selanjutnya, tetap ikuti kisah ini ya,,, ;)

Selasa, 27 November 2012

The Old train which bring memory (1)


 
Kereta Ekonomi Progo terus melaju menjauh dari kota itu. Kota yang membesarkanku dengan segala kenangan pahit dan manisnya. Jakarta. Entah kapan aku bisa kembali. Pertanyaan yang muncul ketika aku mulai menjauhinya, jauh. Hingga tak dapat kulihat lagi.
            Aku tidak pernah membayangkan, bahwa hari itu akan terjadi. Seperti hari, ketika Bunda pergi untuk selamanya, atau ketika Kak Radit meninggalkan rumah. Hari yang membuat aku harus pergi dari Jakarta. Hari ketika Papa harus mengakui kesalahannya dan membiarkan polisi membawanya. Papa terlibat korupsi. Atau entahlah sebutannya bagi seorang yang melakukan itu. Sedikit menggelapkan dana perusahaan. Walalu sedikit sebutannya akan sama saja dengan semua kasus di Negara ini, yang nilainya melebihi dari penggelapan yang dituduhkan pada papa.
Senin, 2 Januari 2012, pukul 20.00, ketika aku baru selesai dengan tugas kuliahku. Papa sedang lembur di ruang kerja di kamarnya, kebiasaannya di hari Senin, hari yang sibuk hingga menjelang pagi. Aku tidak begitu mendengar suara Bi’ Minah yang mengetuk kamar Papa, lalu Papa keluar. Aku mendengar ketika, suara kaki Papa yang khas ketika melewati tangga. Seperti tergesa, seperti panik. Sebentar kubereskan buku-bukuku, lalu keluar kamar.
            Dari balkon lantai 2, aku bisa melihat keadaan di ruang tamu lantai 1. Kulihat ada 3 pria, 1 berjaket kulit hitam, dan 2 orang lainnya berseragam polisi. Ada jeda yang lama hingga muncul perdebatan di sana. Secara paksa menyeret Papa untuk mengikuti mereka. Bi’ Minah terlihat bingung harus bebuat apa. Akhirnya aku berlari turun dan menarik tangan Papa
            “Mau dibawa kemana Papa saya?” tanyaku agak membentak
            “Bapak Anggoro akan melakukan pemeriksaan di kantor atas kasus penggelapan dana perusahaan. Maaf nona tolong lepaskan tangan anda, kami akan membawanya malam ini.” Ujar lelaki berjaket kulit
            Aku memandang Papa yang hanya menunduk. Tidak ada perlawanan dari tubuhnya seakan menerima segala tuduhan itu. Aku menangis. Papa sama sekali tidak memandangku. Perlahan kulepaskan tanganku. Pasrah melihat mereka membawa papa. Melewati pintu menghilang dari pandanganku.
........The Old train which bring memory (1) selesai
........ tunggu kelanjutan dari kisah ini ya,,,